Pengelolaan
hutan di Indonesia mengalami perkembangan dan pergeseran sejalan dengan
perjalanan sejarah kehidupan berbangsa dan bernegara, dengan titik tolak awal
lahirnya Undang Undang Nomor 1 Tahun 1967,
Undang Undang Nomor 5 Tahun 1967,
yang kemudian dilengkapi dengan Undang Undang Nomor 6 Tahun 1968 dan
Undang Undang Nomor 5 Tahun 1990.
Pengelolaan hutan era tersebut dalam perjalanannya telah mengubah peran
sumber daya hutan dalam mendukung laju pertumbuhan Pembangunan Ekonomi Nasional,
terutama dalam mendukung perolehan devisa dan penyerapan tenaga kerja, serta
mengantarkan perkembangan perolehan pendapatan per-kapita penduduk Indonesia. Pada
saat itu hasil usaha pertambangan mineral, logam, minyak dan gas yang semula
menempati posisi utama, tergeser oleh hasil sumber daya non migas khususnya
yang bersumber dari bahan baku hasil hutan kayu dan non kayu.
Akan tetapi besarnya peranan
kehutanan dengan memacu aspek ekonomi tersebut, telah membawa dampak buruk terhadap
kuantitas dan kualitas sumberdaya hutan (degradation and deforestation), serta
menimbulkan kerusakan lingkungan, kerugian ekonomi dan sosial. Kondisi tersebut
cenderung terus meningkat seiring dengan meningkatnya keragaman keinginan dan
tuntutan kualitas hidup, serta tujuan dan kepentingan berbagai pihak terhadap
pemanfaatan sumberdaya hutan.
Dalam sejarah pengelolaan
hutan di Indonesia bentuk pengelolaan hutan yang dipandang cukup relevan dalam menjawab
tujuan manfaat ekonomis, sosial dan ekologis, adalah melalui pendekatan pengelolaan
hutan terkecil dan permanen, dan merupakan unit organisasi teritorial, yang
dikemas dalam wadah Kesatuan Pengelolaan Hutan (KPH).
Kesatuan Pengelolaan Hutan (KPH) merupakan wilayah pengelolaan hutan sesuai fungsi pokok dan peruntukannya, yang dapat
dikelola secara efisien dan lestari.
Bentuk organisasi KPH tersebut
telah dilakukan di Pulau Jawa sejak Pemerintahan Hindia Belanda, yang kemudian
dikembangkan menjadi Badan Usaha Milik Negara (BUMN) yaitu Perum Perhutani, setelah terbitnya Undang Undang
Kehutanan Nomor 5 Tahun 1967. Sedangkan pengelolaan
hutan di luar Pulau Jawa sampai saat ini belum menerapkan pengelolaan hutan
secara teritorial oleh KPH, sehingga kegiatannya terkesan lebih berorientasi pada
eksploitasi kayu, dalam bentuk Hak Pengusaan Hutan (HPH), Hak Pengusahaan Hasil Hutan (HPHH) dan Ijin Pemanfaatan Kayu (IPK).
Pengelolaan hutan model KPH di
Nusa Tenggara Barat (NTB), dirintis
dan diperkenalkan Perum Perhutani sejak tahun 1988, yang mendapat penugasan Menteri Kehutanan sebagai
pelaksana Pembangunan Hutan Tanaman Industri (PHTI) dan Hutan Kemasyarakatan (HKm)
di Pulau Sumbawa. Organisasi pengelola
PHTI/HKm tersebut dipimpin oleh Kepala KPH (Pimpro/Administratur),
yang membawahi 4 (empat) Bagian Kesatuan
Pemangkuan Hutan (BKPH) yang dipimpin Kepala BKPH (Pinlak/Asper), dan tiap Asper membawahi 3-6 Resort Pemangkuan
Hutan (RPH) yang dipimpin Kepala RPH (Pembantu
Pinlak/Mantri), selanjutnya tiap RPH membawahi 3-6 Koordinator Mandor/Blok (Koormand), serta tiap Koormand
membawahi 5-10 Mandor yang mengelola petak tanaman. Sedangkan pedoman kerja-nya mengacu pada Rencana
Karya Pengusahaan Hutan (RKPH), Project Plan PHTI/HKm, dan Rencana Teknik
Tahunan (RTT).
Akan tetapi rintisan KPH Perum
Perhutani tersebut berakhir tahun 2000 (masa
transisi), atau satu tahun setelah
lahirnya Undang Undang Nomor 41 Tahun 1999, yang justru kebijakan tersebut membawa
amanat pembangunan KPH, dengan orientasi pengelolaan seluruh potensi sumberdaya
hutan (forest resource management) dan pemberdayaan masyarakat. Demikian halnya dengan upaya Kantor Wilayah
Departemen Kehutanan dan Perkebunan Provinsi NTB (melalui Proyek Sub Balai Inventarisasi dan Perpetaan Hutan Mataram
tahun 1999-2001), yang saat itu sedang aktif melakukan sosialisasi dan
memprakarsai pembentukan KPH pada kawasan hutan produksi (Kesatuan Pengelolaan Hutan Produksi/KPHP).
Hasil rancang bangun KPHP
tersebut telah menetapkan bahwa seluruh kawasan hutan produksi di NTB terbagi
kedalam 13 unit KPHP. Sedangkan arahan dan kebijakan pengelolaan setiap unit KPHP
tersebut, disusun dan disempurnakan setelah terbitnya Peraturan Pemerintah
Nomor 34 Tahun 2002 (PP 34/2002). Akan tetapi hasil pembentukan KPHP tersebut perlu
dilakukan perubahan kembali disesuaikan dengan Peraturan Pemerintah Nomor 6
Tahun 2007 (PP 6/2007) sebagai pengganti PP 34/2002. Hal ini disebabkan karena terdapat
perbedaan mendasar dalam penentuan kriteria/standar pembentukan KPH
tersebut.
Dalam pembentukan KPH versi PP
6/2007 adalah menyatukan fungsi hutan lindung dengan hutan produksi kedalam satu wadah Kesatuan Pengelolaan Hutan
(KPH), serta membentuk kawasan hutan konservasi kedalam
Kesatuan Pengelolaan Hutan Konservasi (KPHK).
Rancang bangun KPH NTB dilakukan kembali tahun 2007-2008,
dengan hasil bahwa seluruh kawasan hutan di NTB
terbagi kedalam 29 KPH yang terdiri dari 11 (sebelas) KPHP, 12 (dua belas) KPHL dan 6 (enam)
KPHK.
Hasil pembentukan KPH tersebut
disepakati para Kepala Unit Pelaksana Teknis Departemen Kehutanan se-NTB, para Kepala Dinas yang
menangani urusan Kehutanan di Provinsi/Kabupaten/Kota, disetujui seluruh
Bupati/Walikota se-NTB, serta disetujui dan diusulkan Gubernur NTB kepada Menteri Kehutanan. Disamping itu, secara simultan telah didorong
peraturan yang mengatur organisasi dan tata kerja KPH NTB, sehingga terakomodir dalam Peraturan Daerah (Perda) NTB Nomor 7 Tahun 2008 dan
Peraturan Gubernur (Pergub) NTB Nomor
23 Tahun 2008.
Atas dasar itu, Menteri Kehutanan telah
menetapkan wilayah KPHP dan
KPHL Provinsi NTB sesuai Keputusan Nomor SK.337/Menhut-VII/2009. Dalam keputusan tersebut, diketahui
bahwa seluruh kawasan hutan lindung dan
hutan produksi di Provinsi NTB seluas ± 889.210
Ha, telah ditetapkan kedalam 23 (dua puluh tiga) wilayah KPH, yang
terdiri dari 12 (dua belas) KPHP dengan luas areal ± 440.993 Ha dan 11 (sebelas) KPHL dengan luas areal ± 448.217 Ha. Sedangkan menurut kewenangannya terdiri dari 7
(tujuh) KPH Provinsi (KPH lintas kabupaten/kota) dan 16 (enam belas) KPH Kabupaten.
Kebijakan penetapan wilayah
KPH di NTB tersebut, memberikan ruang pengelolaan yang secara spasial relatif
cukup efektif sebagai satu kesatuan wilayah kelola secara teritorial oleh suatu
kelembagaan yang khusus dan spesifik dalam bentuk KPH, sehingga dapat memberi
dampak terhadap pengelolaan hutan yang lebih optimal sesuai dengan amanat yang
diemban dalam PP 6/2007, jo. PP 3/2008.
Dengan mempertimbangkan penetapan
wilayah KPH NTB dan Perda/Pergub organisasi KPH tersebut, maka Pemerintah
Provinsi NTB berkomitmen untuk mendukung pembangunan KPH di NTB. Hal tersebut
sebagaimana dituangkan dalam RPJMD NTB tahun 2009-2013 dan Rencana Strategis
Dinas Kehutanan NTB Tahun 2009-2013, yang
menargetkan dapat beroperasinya 3 (tiga)
unit organisasi KPH Model di Provinsi NTB sampai dengan tahun 2013.
Dalam rangka mewujudkan komitmen
tersebut, pada tahun 2009 Dinas Kehutanan NTB telah mengusulkan KPH Rinjani
Barat sebagai KPH Model di Provinsi NTB, dengan pertimbangan antara lain; (1). Wilayah
kerja KPH Rinjani Barat, merupakan catchment area dan hulu sungai (DAS/Sub DAS) yang menjadi kebutuhan vital masyarakat (air
minum, irigasi dll) untuk 4 Wilayah Kabupaten/Kota yaitu Kota Mataram, Kabupaten
Lombok Barat, Lombok Tengah dan Lombok Utara; (2). Terdapat beberapa lokasi
kegiatan program kehutanan yang dikembangkan secara partisipatif dan menjadi
percontohan yang sering dikunjungi baik lembaga Nasional atau Internasional; (3). Mempunyai potensi obyek daya tarik wisata alam, yang
mendukung pariwisata di NTB, seperti potensi air terjun (Sindang Gila, Tiu Teja, Tiu
Pupus, Sekeper, Kerta Gangga, Trenggulis dan Timponan), ngarai Tete Batu, dan
panorama alam hutan yang berbatasan dengan pantai Batu Bolong, Senggigi,
Malimbu, Nipah dll; (4). Terdapat beberapa kawasan hutan yang dikelola
masyarakat adat; (5). Sebagian masyarakat
sekitar hutan sudah mengembangkan wirausaha dengan bahan baku utama dari
kawasan hutan seperti kerajinan Ketak (Pakis Kawat), Bambu dan Cukli, industri dodol Nangka/Duren,
emping Melinjo, keripik Pisang, gula Aren, serta usaha bibit Gaharu dll; (6). Mempunyai lokasi yang sangat strategis, karena merupakan
KPH yang terdekat dengan Ibu Kota Provinsi; dan (7). Sebagian besar kawasan
hutan berbatasan langsung dengan pemukiman, yang mempunyai tingkat kepadatan penduduk cukup tinggi
(rata-rata ± 474 jiwa/Km²).
Usulan tersebut mendapat
respon positif dari Kementerian Kehutanan, yang ditujukan dengan; (a).
Terbitnya Keputusan Menteri Kehutanan Nomor SK.785/ Menhut-II/2009, yang
menetapkan KPH Rinjani Barat sebagai KPHL Model di Provinsi NTB; (b).
Teralokasinya beberapa kegiatan pendukung beroperasinya KPH Rinjani Barat (melalui
Ditjen Planologi Kehutanan tahun 2011) antara lain; pembangunan kantor KPH,
pengadaan sarana prasarana operasional dan penyusunan Rencana Pengelolaan Hutan
KPH Rinjani Barat.