Kamis, 13 September 2012

APA ITU KPH DAN PERKEMBANGAN KPH RINJANI BARAT


Pengelolaan hutan di Indonesia mengalami perkembangan dan pergeseran sejalan dengan perjalanan sejarah kehidupan berbangsa dan bernegara, dengan titik tolak awal lahirnya Undang Undang Nomor 1 Tahun 1967,  Undang Undang Nomor 5 Tahun 1967,  yang kemudian dilengkapi dengan Undang Undang Nomor 6 Tahun 1968 dan Undang Undang Nomor 5 Tahun 1990.   Pengelolaan hutan era tersebut dalam perjalanannya telah mengubah peran sumber daya hutan dalam mendukung laju pertumbuhan Pembangunan Ekonomi Nasional, terutama dalam mendukung perolehan devisa dan penyerapan tenaga kerja, serta mengantarkan perkembangan perolehan pendapatan per-kapita penduduk Indonesia. Pada saat itu hasil usaha pertambangan mineral, logam, minyak dan gas yang semula menempati posisi utama, tergeser oleh hasil sumber daya non migas khususnya yang bersumber dari bahan baku hasil hutan kayu dan non kayu. 
Akan tetapi besarnya peranan kehutanan dengan memacu aspek ekonomi tersebut, telah membawa dampak buruk terhadap kuantitas dan kualitas sumberdaya hutan (degradation and deforestation), serta menimbulkan kerusakan lingkungan, kerugian ekonomi dan sosial. Kondisi tersebut cenderung terus meningkat seiring dengan meningkatnya keragaman keinginan dan tuntutan kualitas hidup, serta tujuan dan kepentingan berbagai pihak terhadap pemanfaatan sumberdaya hutan.  
Dalam sejarah pengelolaan hutan di Indonesia bentuk pengelolaan hutan yang dipandang cukup relevan dalam menjawab tujuan manfaat ekonomis, sosial dan ekologis, adalah melalui pendekatan pengelolaan hutan terkecil dan permanen, dan merupakan unit organisasi teritorial, yang dikemas dalam wadah Kesatuan Pengelolaan Hutan (KPH).  
Kesatuan Pengelolaan Hutan (KPH) merupakan wilayah pengelolaan hutan sesuai fungsi pokok dan peruntukannya, yang dapat dikelola secara efisien dan lestari.
Bentuk organisasi KPH tersebut telah dilakukan di Pulau Jawa sejak Pemerintahan Hindia Belanda, yang kemudian dikembangkan menjadi Badan Usaha Milik Negara (BUMN) yaitu Perum Perhutani, setelah terbitnya Undang Undang Kehutanan Nomor 5 Tahun 1967.  Sedangkan pengelolaan hutan di luar Pulau Jawa sampai saat ini belum menerapkan pengelolaan hutan secara teritorial oleh KPH, sehingga kegiatannya terkesan lebih berorientasi pada eksploitasi kayu, dalam bentuk Hak Pengusaan Hutan (HPH), Hak Pengusahaan Hasil Hutan (HPHH) dan Ijin Pemanfaatan Kayu (IPK).
Pengelolaan hutan model KPH di Nusa Tenggara Barat (NTB), dirintis dan diperkenalkan Perum Perhutani sejak tahun 1988,  yang mendapat penugasan Menteri Kehutanan sebagai pelaksana Pembangunan Hutan Tanaman Industri (PHTI) dan Hutan Kemasyarakatan (HKm) di Pulau Sumbawa.  Organisasi pengelola PHTI/HKm tersebut dipimpin oleh Kepala KPH (Pimpro/Administratur), yang membawahi 4 (empat) Bagian Kesatuan Pemangkuan Hutan (BKPH) yang dipimpin Kepala BKPH (Pinlak/Asper), dan tiap Asper membawahi 3-6 Resort Pemangkuan Hutan (RPH) yang dipimpin Kepala RPH (Pembantu Pinlak/Mantri), selanjutnya tiap RPH membawahi 3-6 Koordinator Mandor/Blok (Koormand), serta tiap Koormand membawahi 5-10 Mandor yang mengelola petak tanaman.  Sedangkan pedoman kerja-nya mengacu pada Rencana Karya Pengusahaan Hutan (RKPH), Project Plan PHTI/HKm, dan Rencana Teknik Tahunan (RTT).  
Akan tetapi rintisan KPH Perum Perhutani tersebut berakhir tahun 2000 (masa transisi),  atau satu tahun setelah lahirnya Undang Undang Nomor 41 Tahun 1999, yang justru kebijakan tersebut membawa amanat pembangunan KPH, dengan orientasi pengelolaan seluruh potensi sumberdaya hutan (forest resource management) dan pemberdayaan masyarakat.  Demikian halnya dengan upaya Kantor Wilayah Departemen Kehutanan dan Perkebunan Provinsi NTB (melalui Proyek Sub Balai Inventarisasi dan Perpetaan Hutan Mataram tahun 1999-2001), yang saat itu sedang aktif melakukan sosialisasi dan memprakarsai pembentukan KPH pada kawasan hutan produksi (Kesatuan Pengelolaan Hutan Produksi/KPHP). 
Hasil rancang bangun KPHP tersebut telah menetapkan bahwa seluruh kawasan hutan produksi di NTB terbagi kedalam 13 unit KPHP. Sedangkan arahan dan kebijakan pengelolaan setiap unit KPHP tersebut, disusun dan disempurnakan setelah terbitnya Peraturan Pemerintah Nomor 34 Tahun 2002 (PP 34/2002).  Akan tetapi hasil pembentukan KPHP tersebut perlu dilakukan perubahan kembali disesuaikan dengan Peraturan Pemerintah Nomor 6 Tahun 2007 (PP 6/2007) sebagai pengganti PP 34/2002.  Hal ini disebabkan karena terdapat perbedaan mendasar dalam penentuan kriteria/standar pembentukan KPH tersebut.
Dalam pembentukan KPH versi PP 6/2007 adalah menyatukan fungsi hutan lindung dengan hutan produksi kedalam satu wadah Kesatuan Pengelolaan Hutan (KPH), serta membentuk kawasan hutan konservasi kedalam Kesatuan Pengelolaan Hutan Konservasi (KPHK).  Rancang bangun KPH NTB dilakukan kembali tahun 2007-2008, dengan hasil bahwa seluruh kawasan hutan di NTB terbagi kedalam 29 KPH yang terdiri dari 11 (sebelas) KPHP, 12 (dua belas) KPHL dan 6 (enam) KPHK. 
Hasil pembentukan KPH tersebut disepakati para Kepala Unit Pelaksana Teknis Departemen Kehutanan se-NTB, para Kepala Dinas yang menangani urusan Kehutanan di Provinsi/Kabupaten/Kota, disetujui seluruh Bupati/Walikota se-NTB, serta disetujui dan diusulkan Gubernur NTB kepada Menteri Kehutanan.  Disamping itu, secara simultan telah didorong peraturan yang mengatur organisasi dan tata kerja KPH NTB,  sehingga terakomodir dalam Peraturan Daerah (Perda) NTB Nomor 7 Tahun 2008 dan Peraturan Gubernur (Pergub) NTB Nomor 23 Tahun 2008.   
Atas dasar itu, Menteri Kehutanan telah menetapkan wilayah KPHP dan KPHL Provinsi NTB sesuai Keputusan Nomor SK.337/Menhut-VII/2009. Dalam keputusan tersebut, diketahui bahwa seluruh kawasan hutan lindung dan hutan produksi di Provinsi NTB seluas ± 889.210 Ha, telah ditetapkan kedalam 23 (dua puluh tiga) wilayah KPH, yang terdiri dari 12 (dua belas) KPHP dengan luas  areal ± 440.993 Ha dan 11 (sebelas) KPHL dengan luas areal ± 448.217 Ha.  Sedangkan menurut kewenangannya terdiri dari 7 (tujuh) KPH Provinsi (KPH lintas kabupaten/kota) dan 16 (enam belas) KPH Kabupaten.
Kebijakan penetapan wilayah KPH di NTB tersebut, memberikan ruang pengelolaan yang secara spasial relatif cukup efektif sebagai satu kesatuan wilayah kelola secara teritorial oleh suatu kelembagaan yang khusus dan spesifik dalam bentuk KPH, sehingga dapat memberi dampak terhadap pengelolaan hutan yang lebih optimal sesuai dengan amanat yang diemban dalam PP 6/2007, jo. PP 3/2008. 
Dengan mempertimbangkan penetapan wilayah KPH NTB dan Perda/Pergub organisasi KPH tersebut, maka Pemerintah Provinsi NTB berkomitmen untuk mendukung pembangunan KPH di NTB. Hal tersebut sebagaimana dituangkan dalam RPJMD NTB tahun 2009-2013 dan Rencana Strategis Dinas Kehutanan NTB Tahun 2009-2013,  yang menargetkan dapat beroperasinya 3 (tiga) unit organisasi KPH Model di Provinsi NTB sampai dengan tahun 2013.  
Dalam rangka mewujudkan komitmen tersebut, pada tahun 2009 Dinas Kehutanan NTB telah mengusulkan KPH Rinjani Barat sebagai KPH Model di Provinsi NTB, dengan pertimbangan antara lain; (1). Wilayah kerja KPH Rinjani Barat, merupakan catchment area dan hulu sungai (DAS/Sub DAS) yang menjadi kebutuhan vital masyarakat (air minum, irigasi dll) untuk 4 Wilayah Kabupaten/Kota yaitu Kota Mataram, Kabupaten Lombok Barat, Lombok Tengah dan Lombok Utara; (2). Terdapat beberapa lokasi kegiatan program kehutanan yang dikembangkan secara partisipatif dan menjadi percontohan yang sering dikunjungi baik lembaga Nasional atau Internasional; (3). Mempunyai potensi obyek daya tarik wisata alam, yang mendukung pariwisata di NTB, seperti potensi air terjun (Sindang Gila,  Tiu Teja, Tiu Pupus, Sekeper, Kerta Gangga, Trenggulis dan Timponan), ngarai Tete Batu, dan panorama alam hutan yang berbatasan dengan pantai Batu Bolong, Senggigi, Malimbu, Nipah dll; (4). Terdapat beberapa kawasan hutan yang dikelola masyarakat adat;  (5). Sebagian masyarakat sekitar hutan sudah mengembangkan wirausaha dengan bahan baku utama dari kawasan hutan seperti kerajinan Ketak (Pakis Kawat),  Bambu dan Cukli, industri dodol Nangka/Duren, emping Melinjo, keripik Pisang, gula Aren, serta usaha bibit Gaharu dll; (6). Mempunyai lokasi yang sangat strategis, karena merupakan KPH yang terdekat dengan Ibu Kota Provinsi; dan (7). Sebagian besar kawasan hutan berbatasan langsung dengan pemukiman, yang mempunyai tingkat kepadatan penduduk cukup tinggi (rata-rata ± 474 jiwa/Km²).
Usulan tersebut mendapat respon positif dari Kementerian Kehutanan, yang ditujukan dengan; (a). Terbitnya Keputusan Menteri Kehutanan Nomor SK.785/ Menhut-II/2009, yang menetapkan KPH Rinjani Barat sebagai KPHL Model di Provinsi NTB; (b). Teralokasinya beberapa kegiatan pendukung beroperasinya KPH Rinjani Barat (melalui Ditjen Planologi Kehutanan tahun 2011) antara lain; pembangunan kantor KPH, pengadaan sarana prasarana operasional dan penyusunan Rencana Pengelolaan Hutan KPH Rinjani Barat.